Duniaku

Duniaku
Indahnya Duniaku

Views :

Minggu, 11 Desember 2016

PROPOSAL MINI : ANALISIS TATARAN LINGUISTIK BAHASA JAWA DARI BENTUK BAHASA TERTUA (PROTO)



ANALISIS TATARAN LINGUISTIK BAHASA JAWA DARI BENTUK BAHASA TERTUA (PROTO)

 
ABSTRAK

Bahasa dapat dikatakan sebuah sistem simbol. Ia merupakan perwujudan budaya yang digunakan untuk saling bertukar informasi. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa bahasa merupakan subordinat dari kebudayaan, dimana ia masuk sebagai salah satu unsur kebudayaan. Bahasa memiliki banyak ragam. Kemudian, ketika teknologi mulai membaur dengan bahasa maka varietasnya pun terpengaruh. Faktor historis memperlihatkan hubungan antara bahasa dan kurun waktu kapan bahasa tersebut dipakai orang. Corak atau ragam perbedaan bahasa semacam ini disebut dialek temporal atau dialek historis. Dapat diambil contoh dari bahasa Jawa yang dibedakan menjadi bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan Jawa Modern.






BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak dapat terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam berkomunikasi manusia memerlukan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan, isi pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling utama dan vital adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah bahasa. Dengan demikian fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Setiap anggota masyarakat dan konunitas selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai komunikator (pembicara atau penulis) maupun sebagai komunikan (mitra bicara, penyimak, pendengar, atau pembaca) (Sumarlam, 2005:1). Bahasa Jawa merupakan bagian dari bahasa nusantara dan termasuk rumpun bahasa austronesia yang ada di dunia ini. Secara linier bahasa Jawa memiliki sejarah yang panjang, area pemakaian yang amat luas dan jumlah penutur yang banyak, sebanyak orang Jawa yang ada (Wakit Abdullah dan Sri Lestari Handayani, 2007:11). Bahasa Jawa digunakan di beberapa wilayah di Indonesia, yang terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sebagian daerah di Jawa Barat, maupun di luar negri.
Di dalam kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara tradisional dapat dikatakan sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi. Akan tetapi, fungsi bahasa tidak hanya semata-mata sebagai alat komunikasi. Bagi sosiolinguistik konsep bahasa adalah alat yang fungsinya menyampaikan pikiran saja dianggap terlalu sempit (Abdul Chaer, 2004:15).
Jika dalam suatu kelompok masyarakat terdiri dari berbagai daerah-daerah dan penguasaan bahasa yang perbeda-beda akan menimbulkan bahasa yang unik, apalagi jika suatu kelompok masyarakat tersebut merupakan penguna lebih dari satu bahasa (multi lingual) akan timbul pencampuran bahasa atau sering disebut campur kode dan alih kode.Penelitian yang terdahulu tentang tingkat tutur bahasa Jawa, alih kode, campur kode antara lain penelitian yang di lakukan oleh : (1) Mulyani, (2) Siti Zuhriyah, (3) Arisanti Suwarso.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk bersuku bangsa Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal di beberapa daerah lain seperti Banten (terutama Serang, Cilegon, dan Tangerang) serta Jawa Barat (terutama kawasan pantai utara yang meliputi Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon).
Bahasa Jawa Kuno ialah bahasa Jawa fasa tertua yang dituturkan di kawasan yang kini dikenali sebagai Jawa Tengah dan seluruh Jawa Timur. Ia merupakan salah satu bahasa Polinesia-Melayu Barat dan justera, adalah agak serupa dengan bahasa Melayu Lama. Bahasa Jawa Lama tidaklah statik, dengan penggunaanya merangkumi zaman sekitar 500 tahun, iaitu sejak prasasti Sukabumi (kk. 804 Masihi) sehingga pengasasan empayar Majapahit pada 1292. Bahasa Jawa yang dituturkan dan ditulis pada zaman Majapahit adalah lebih rapat dengan bahasa Jawa Moden kerana telah menjalani sesetengah perubahan.
Variasi Bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Namun Halliday membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakai (dialek) dan pemakaian (register).Chaer (2004:62) mengatakan bahwa variasi bahasa itu pertama-tama kita bedakan berdasarkan penutur dan penggunanya.

1.2.  Identifikasi Masalah
1.      Mendeskripsikan  apa yang dimaksud fonologi, semantik, sintaksis, dan morfologi dalam bahasa Jawa.
2.      Menganalisa tataran linguistik bahasa Jawa serta penggunaannya dengan tepat

1.3.  Rumusan Masalah
1.      Apa sajakah  kesalahan  berbahasa Jawa yang dijumpai dari segi fonologi, semantik, sintaksis, dan morfologi?
2.      Bagaimana tataran linguistik yang benar dalam bahasa Jawa ?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Linguistik
Secara umum linguistik adalah ilmu tantang bahasa atau ilmu yang mejadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Telaah ilmiah mengenai bahasa (Martinet /1987:19). l-Khuli mendefinisikan Linguistik sebagai ilmu yang menyelidiki bahasa (‘ilmun yabhatsu fi al-lughah).[1] Jurji Zaidan, mendefinisikan Linguistik sebagai ilmu yang menyelidiki bahasa dari sisi tertulis maupun non tertulis.[2] Sementara Iman Saiful Mu’minin mendefinisikan Linguistik sebagai ilmu yang membahas tentang bahasa dari berbagai sisi.[3] Dalam The New Oxford Dictionary of English (2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut: “The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.”
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk bersuku bangsa Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal di beberapa daerah lain seperti Banten (terutama Serang, Cilegon, dan Tangerang) serta Jawa Barat (terutama kawasan pantai utara yang meliputi Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon).
Pada dasarnya penggunaan Bahasa Jawa dibagi menjadi 3 Bahasa, yaitu:
1. Bahasa Jawa ngoko (kasar) dipergunaan oleh :
·         Anak-anak dengan anak-anak
·         Orang yang sudah dekat ( teman dekat )
·         Orang yang lebih tua dari lawan bicara
2. Bahasa Jawa Krama madya (halus) dipergunakan oleh :
·         Murid pada guru
·         Orang yang lebih muda dengan orang yang lebih tua
·         Anak pada orang tua
·         Abdi/ pegawai pada majikan/ pimpinannya
3. Bahasa Jawa krama Inggil (sangat halus) dipergunakan  untuk meninggikan derajat lawan bicara dan untuk merendahkan diri sendiri (mempertebal andhap asor/ rendah hati).
Ketika seseorang berbicaara selain memperhatikan kaidah-kaidah bahasa, juga harus memperhatikan siapa orang yang diajak bicara. Berbicara dengan orang tua berbeda dengan berbicara pada anak atau yang seumur. Tingkat tutur merupakan sisitem ragam bahasa menurut hubungan antara pembicara, secara kasar dari bentuk ngoko, madya dan krama (Harimurti Kridalaksana, 1993:223). Sry Satriya Tjatur Sasangka (1997:1) mengunakan mengunakan istilah unggah-ungguh bahasa untuk menyebut istilah tingkat tutur bahasa yang di gunakan oleh Harimurti Krida Laksana. Begitu juga Aryo Bimo Setiyanto (2007:26) menyebut tingkat tutur bahasa Jawa dengan istilah unggah-ungguhing basa.
Dalam Parama Sastra Bahasa Jawa tingkat tutur bahasa Jawa pada dasarnya di bagi menjadi tiga, yaitu ngoko, madya, dan krama. Selain itu orang-orang Istana / Kedhaton mengunakan bahasa Kedhaton atau sering disebut bahasa bagongan, sehingga tingkat tutur bahasa Jawa dapat di bagi menjadi empat bagian, yaitu ngoko, madya, krama, dan kedhaton. Ngoko dibagi menjadi dua, (1) ngoko lugu, (2) ngoko andhap. Madya dibagi menjadi tiga, (1) madya ngoko, (2) madya krama, dan (3) madyaantara. Krama dibagi menjadi lima, yaitu (1) mudha krama, (2) kramantara, (3) wredha krama, (4) krama inggil, dan (5) krama desa. Bahasa kedhaton tidak dibagi tetapi hanya disebut dengan bahasa bagongan (Aryo Bimo Setiyanto, 2007:26).

2.1.1. Fonologi
Fonologi terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu Fonetik dan Fonemik. Fonologi berbeda dengan fonetik. Fonetik mempelajari bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan dan pengucapan bahasa. Dengan kata lain, fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia. Sementara itu, Fonemik adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti.
Ada 3 (tiga) unsur penting ketika organ ucap manusia memproduksi bunyi atau fonem, yaitu:
  • udara - sebagai penghantar bunyi,
  • artikulator - bagian alat ucap yang bergerak, dan
  • titik artikulasi (disebut juga artikulator pasif) - bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator.
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar adalah dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi tersebut.
Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan dan sebagainya. Perlambangan unsure suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jedah dan intonasi. Perlambangan unsure suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pungtuasi.
Tata cara penulisan bunyi ujar ini bias memanfaatkan hasil kajian fonologi,terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, hasil kajian fonemik terhahadap ejaan suatu bahasa disebut ejaan fonemi.

2.1.2.  Semantik
Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna / arti yang terkandung dalam bahasa, kode, atau jenis lain dari representasi. Dengan kata lain, semantik adalah studi tentang makna. Semantik biasanya berhubungan dengan dua aspek lain: sintaks, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, dan pragmatis, penggunaan praktis simbol oleh rakyat dalam konteks tertentu.
Linguistik Semantik adalah studi tentang makna yang digunakan untuk memahami ekspresi manusia melalui bahasa. Bentuk lain dari semantik termasuk semantik bahasa pemrograman, logika formal, dan semiotika.
Kata semantik sendiri menunjukkan berbagai ide – yang populer sangat teknis. Hal ini sering digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menunjukkan pemahaman tentang isu-isu yang datang dengan pilihan kata atau konotasi. Pemahaman tentang masalah telah menjadi subyek dari banyak pertanyaan formal, dalam jangka panjang, khususnya di bidang semantik formal.
Dalam linguistik, itu adalah studi tentang interpretasi tanda-tanda atau simbol-simbol yang digunakan dalam lembaga atau masyarakat dalam keadaan dan konteks tertentu. Dalam pandangan ini, suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan proxemics memiliki semantik konten (makna), dan masing-masing terdiri dari beberapa cabang studi. Dalam bahasa tertulis, hal-hal seperti struktur paragraf dan tanda baca menanggung konten semantik, bentuk lain dari bahasa menanggung konten semantik lainnya.
Studi formal semantik tumpang tindih dengan banyak daerah lain penyelidikan, termasuk leksikologi, sintaks, pragmatik, etimologi dan lain-lain, meskipun semantik didefinisikan dengan baik bidang dalam dirinya sendiri, sering dengan alam sintetis. Dalam filsafat bahasa, semantik dan referensi yang terkait erat. Bidang terkait termasuk filologi, komunikasi, dan semiotika. Studi formal semantik karena menjadi kompleks.
Bahasa Jawa juga memiliki ragam fungsiolek. Dilihat dari ragarn bahasa yang ada, bahasa Jawa mempunyai ragam yang disebut undha usuk. udha usuk ini dibagi menjadi dua yaitu bahasa ngoko dan krama.
a. Bahasa Ngoko
Bahasa ngoko digunakan untuk berbicara dengan orang yang sebaya atau orang yang sudah akrab, bisa juga digunakan oleh orang yang kedudukannya lebih tinggi untuk berbicara kepada bawahnnya. Dalam ragam fungsiolek menurut Martin Joos, bahasa ngoko dapat diterapkan dalam ragam santai dan akrab. Misalnya berbicara dengan teman sebaya: “Sapa sik jupuk bukuku ning meja kae Bud?”
b. Bahasa Krama
Bahasa krama digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua (umur maupun kekerabatan) dan tinggi kedudukannya, juga ketika berhicara dengan orang yang belum kenal. Bahasa kromo berfungsi sebagai wujud menghargai dan menghormarti orang yang diajak berbicara. Bahasa krama dibagi menjadi dua yaitu krama madya dan krama inggil.
     1). Krama madya
Madya artinya tengah, jadi bahasa ini terletak di tengah-tengah antara bahasa ngoko dan krama. Penggunaan bahasa ini terbatas untuk berbicara dengan orang tua atau yang dituakan akan tetapi sifat hubunganya sudah akrab. Dalam kalimat, krama madya bisanya bercampur dengan ngoko bisa juga dengan krama inggil. Misalnya adik berbicara dengan kakaknya: “Mas, mbok benjing aku diterke teng pasar tumbas sepatu”.
Kalimat tersebut merupakan gabungan dari kama yaitu ‘benjing’; krama madya yaitu ‘tumbas, ‘teng ‘; dan ngoko yaitu ‘aku’, ‘diterke’. Krama madya ini digunakan juga dalam ragam santai.
2). Krama inggil
Inggil yang berarti tinggi atau atas, digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tinggi usia ataupun kedudukannya, ataupun dalam keadaan dan situasi fomral. Jika dihubungkan dengan ragam bahasa menurut Martin Joos, krama inggil biasa digunakan dalam ragam beku, resmi, juga ragam usaha. Dalam pidato acara-acara resmi seperti pernikahan, khitanan, pengajian dll, masyarakat biasanya menggunakanbahasa krama inggil. Misalnya “lngkang kinurmatan bapak Paijo sakulawarga ingkang tansah bagyamulya, para pepundhen sesepuh miwah pinisepuh ingkang satuhu kinabekten, saha para tamu ingknng minulya…”
Selain digunakan dalam acara-acara resmi, bahasa krama inggil juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu untuk berbicara dengan orang yang lebih tua tau dituakan dan berkedudukan tinggi. Misal cucu berbicara dengan neneknya, “Simbah sampun dhahar? “ namun kalimat tersebut tidak boleh digunakan untuk menyebutkan dirinya sendiri “Kula sampun dhahar,” Kalimat tersebut benar menurut struktur bahasa, namun secara aturan tidak tepat karena telah mengkramakan dirinya sendiri, dalam artian telah menghormati dirinya sendiri. Sehingga kalimat yang tepat seharusnya“kula sampun maem.” Hal tersebut merupakan keunikan bahasa Jawa yang mempunyai aturan tertentu dalam ujaran sesuai dengan situasi dan kondisi seseorang saat berbicara atau dikenal dengan istilah “mpan mapan” bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.
2.1.3. Sintaksis
Kata sintaksis berasal dari kata Yunani (sun = ‘dengan’ + tattein ‘menempatkan’. Jadi kata sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan. Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi menyangkut struktur gramatikal di dalam kata.Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah frase, kalusa,dan kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat.
Ramlan (1981:1) mengatakan: “Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase .”.
Fungsi sintaksis adalah hubungan antara unsur-unsur bahasa dilihat dari sudut pandang penyajiannya dalam ujaran atau klausa. Jenis fungsi sintaksis yang umum diakui adalah subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Fungsi sintaksis memegang peran paling dominan dalam teori tata bahasa dependensi yang menguraikan setiap unsur kalimat menjadi fungsi sintaksis spesifik.
Dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang secara hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu frase. Maka di sini, kata, hanya dibicarakan sebgai satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat Dalam pembicaraan kata sebagai pengisi satuan sintaksis, pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya dua macam kata, yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (funcionword). Yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina, ajektifa, adverbia, dan numeralia. Sedangkan yang termasuk kata tugas adalah kata-kata yang yang berkategori preposisi dan konjungsi.

2.1.4. Morfologi
Morfologi adalah cabang linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik.
Dalam kaitannya dengan kebahasaan, yang dipelajari dalam morfologi ialah bentuk kata. Selain itu, perubahan bentuk kata dan makna (arti) yang muncul serta perubahan kelas kata yang disebabkan perubahan bentuk kata itu, juga menjadi objek pembicaraan dalam morfologi. Dengan kata lain, secara struktural objek pembicaraan dalam morfologi adalah morfem pada tingkat terendah dan kata pada tingkat tertinggi.Itulah sebabnya, dikatakan bahwa morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk kata (struktur kata) serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap makna (arti) dan kelas kata.
Dalam ilmu morfologi, terdapat morfem yaitu bagian terkecil dari sebuah kata.
Pembagiannya seperti ini :

1. Sebuah wacana dapat dipecah menjadi kalimat
2. Kalimat dapat dipecah menjadi bagian makna terkecil, yaitu kata
3. Kata dapat terdiri atas beberapa morfem, contohnya menanamkan = me-tanam-kan, bisa juga hanya terdiri atas satu morfem, misalnya rumah, kursi, selamat, eksekusi.
Proses morfologis termasuk dalam bidang analisis linguistik. Pada awalnya analisis linguistik ini didasarkan pada pemisahan tataran dan diidealkan sebagai suatu studi yang mengacu pada seleksi suatu dimensi struktur bahasa yang secara formal berhubungan dengan tingkatan linguistik mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.
            Dalam tataran ini morfologi merupakan ilmu yang mempelajari struktur kata. Dengan berkembangnya aliran strukturalis dan generatif pemisahan tataran dalam analisis memudar dan selanjutnya berkembang ke arah doktrin keterkaitan tataran pada suatu fokus analisis (Katamba, 1993: 3-16). Oleh karena itu analisis morfologis yang berhubungan dengan tataran lain seperti fonologi, sintaksis dan semantik memungkinkan adanya kajian proses morfologis yang lebih komprehensif.

2.2. Hasil
2.2.1. Fonologi
1.  Vokal “a”, mempunyai dua alofon:
a. Vokal “a” jejeg (tegak)
Dalam vokal “a” jejeg, keadaan kata yang diucapkan seperti aksara jawa saat nglegena atau tanpa sandhangan. Lambang ejaan “a” jejeg kali ini kita akan memakai simbol [a].
              Contoh ucapan dalam bahasa Jawa : lima, sanga, apa, lara, utawa, dst
                     b.  Vokal “a” miring
Sedangkan dalam vokal “a” miring, diucapkan seperti vokal “a” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang ejaan “a” miring bisa menggunakan [A].
                    Contoh ucapan dalam bahasa Jawa : aku, ora, tau, mangan, prawan, dst.
Namun untuk suara “a” jejeg akan menjadi suara “a” miring jika mendapat imbuhan atau panambang: -ne, -ku, -mu.
                    Contoh : kanca + ne → kancane             [kanca] + [ne] → [kAncAne]
              2.   Vokal “i” memiliki dua alofon:
                     a.   Vokal “i” jejeg
Diucapkan seperti vokal “i” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang ejaan untuk vokal “i” jejeg yang kita pakai adalah [ i ].
                    Contoh ucapan dalam bahasa Jawa : iki, siji, pari, aji, kali, dst.
b.   Vokal “i” miring
Untuk vokal ini, ucapan “i” menyerupai vokal “e” dan biasannya yang dibaca miring bagian vokal yang akhir. Lambang ejaan untuk vokal “i” miring yang kita pakai adalah [ I ].
                    Contoh dalam bahasa Jawa : Sisir, pasir, kalih, taling, miring, dst.
Ada pengecualian untuk vokal “i” miring, vokal “i” miring akan berubah menjadi vokal “i” jejeg apabila mendapat imbuhan atau panambang: -an atau –e.
Contoh:  sisir + an → sisiran       [sisIr] + [An] → [sisirAn]
3.   Vokal “u” mempunyai dua alofon:
a.   Vokal “u” jejeg
Vokal “u” jejeg diucapkan seperti vokal “u” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang ejaan untuk vokal “u” jejeg yang kita pakai adalah [u].
Contoh : Guru, turu, susu, kuku, dst.
b.   Vokal “u” miring
Untuk vokal ini, ucapan “u” menyerupai vokal “o” dan biasannya yang dibaca miring bagian vokal yang akhir. Lambang ejaan untuk vokal “u” miring yang kita pakai adalah [U]
                    Contoh:
·      susuh → [susUh]
·      kukur → [kukUr]
Untuk vokal “u” miring terjadi adanya perubahan, vokal “u” miring akan berubah menjadi vokal “u” jejeg apabila mendapat imbuhan atau panambang: -an atau –e.
Contoh:
·pupur + an → pupuran   [pupUr] + [An] → [pupurAn]
·susuh + e → susuhe       [susUh] + [e] → [susuhe]
4.   Vokal “o” mempunyai dua alofon:
                     a.  Vokal “o” jejeg
Vokal “o” jejeg diucapkan seperti vokal “o” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang ejaan untuk vokal “o” jejeg yang kita pakai adalah [o].
Contoh:
·toko, soto, loro, dst.
                     b.  Vokal “o” miring
Untuk vokal ini, ucapan “o” menyerupai vokal “a”. Lambang ejaan untuk vokal “o” miring yang kita pakai adalah [O]
Contoh:
·         bolong
·         kanthong
   5.   Vokal “e” mempunyai dua alofon:
              a.   Vokal “e” jejeg
  Vokal “e” jejeg diucapkan seperti vokal “e” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang ejaan untuk vokal “e” jejeg yang kita pakai adalah [e].
Contoh : tempe, sare, sate dst.
                     b.  Vokal “e” miring
                    Lambang ejaan untuk vokal “e” miring yang kita pakai adalah [E]
                    Contoh:
·         gepeng, kaleng, goreng, dst.

              6.   Vokal “ê”
Khusus vokal “ê” tidak mempunyai alofon. Dalam aksara Jawa vokal ini dituliskan dengan sandhangan pepet.
Contoh:
têgêl, lémpér, marmér, dst. 
2.2.2. Semantik
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Jawa, verba dibagi menjadi tiga tipe, yaitu (a) verba Keadaan; (b) verba Proses dan (c) verba Tindakan. Fokus kajian berikut mengacu pada salah satu tipe verba Tindakan, yaitu melakukan, dengan Polisemi: melakukan dan terjadi. Kombinasi melakukan dan terjadi mengungkapkan suatu keterpengaruhan Undergoer yang relatif tinggi karena kelas verba termasuk verba transitif prototipe. Verba transitif prototipe memiliki Subjek sebagai agen dan Objek langsung sebagai pasien (Wierzbicka, 1996: 421).
Dalam bahasa Jawa, sebagai contoh verba ngethok ‘memotong’ mewakili korpus verba transitif prototipe dalam kajian ini. Pemilihan ini dimaksudkan untuk memberi gambaran struktur semantik secara ringkas dan tidak berputar-putar. Leksikon ngethok ‘memotong’ menggambarkan struktur semantik dengan sub-komponen “X melakukan sesuatu”, “sesuatu yang buruk terjadi” dan “X melakukan sesuatu”, “sesuatu yang baik terjadi”. Leksikon tersebut dengan variasi masing-masing sebagai representasi konsep melakukan dan terjadi. Jika orang ngethok ‘memotong’ maka pemetaan komponen “X melakukan sesuatu pada Y” dan karena “sesuatu terjadi pada Y”. Leksikon ngethok didasarkan atas alat, model gerakan, bagian entitas yang dikenai perlakuan dan hasil akhir yang ingin dicapai atau diharapkan agen. 
Contoh lain;
(a)   ngiris, mapras, ngarit, nyigar, menggal, nugel, ngrajang, nyacah = memotong
ngiris : memotong tipis-tipis.
mapras: memotong ujung batang pohon.
ngarit: memotong rumput untuk makanan ternak.
nyigar: memotong bambu atau kayu menjadi dua bagian.
nugel: memotong sesuatu menjadi dua bagian.
ngrajang: memotong kecil-kecil.
nyacah: memotong sesuatu sekecil mungkin.
 (b) menggal, mbelih, nyeset: leksikon-leksikon ini memiliki acuan berupa bagian dari suatu entitas bernyawa.
menggal: memotong kepala hewan atau manusia.
mbelih: memotong bagian kepala ternak.
nyeset: memotong pada bagian kulit hewan untuk memisahkan dengan daging.
   Berikut ini contoh kata-kata  Bahasa Jawa Halus di mulai dari kata “ ngoko- krama madya- krama inggil- terjemahan bahasa Indonesia”  
Ngoko
Krama Madya
Krama Inggil
Bahasa Indonesia
abang
abot
adang
adhem
adhi
adeg
adoh
adol
adu
adus
agama
age-age
aja
ajang
aji
aksama
aku
ala
abrit
awrat
bethak
asrep
adhi
ngadeg
tebih
sade
aben
adus
agami
enggal-enggal
ampun
ajang
aos
aksami
kula
awon
abrit
awrat
bethak
asrep
rayi
jumeneng
tebih
sade
aben
siram
agami
enggal-enggal
ampun
ambeng
aos
aksami
kawula, dalem
awon
merah
berat
menanak nasi
dingin
adik
berdiri
jauh
jual
mengadu
mandi
agama
lekas
jangan
tempat, piring
nilai, harga
ampun, maaf
saya
buruk


2.2.3. Sintaksis
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Ilmu Bahasa Indonesia, Sintaksis  oleh Prof. Drs. M. Ramlan, dalam struktur bahasa Indonesia secara umum memiliki lima fungsi, yang diantaranya adalah subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket) yang tersusun dalam tataran klausa. Klausa di sini dijelaskan sebagai satuan gramatik yang terdiri dari S P baik disertai O, Pel, dan Ket ataupun tidak.
Bahasa Jawa Modern merupakan salah satu bahasa Austronesia yang secara struktur dan morflogi mempunyai banyak kesamaan dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian bahasa Jawa Modern dapat dianalisis dengan menggunakan teori linguistik bahasa Indonesia. Kemudian untuk mengetahui fungsi apa saja yang dapat mengisi struktur bahasa Jawa Modern dapat digunakan buku Ilmu Bahasa Indonesia, Sintaksis M. Ramlan sebagai landasan teori.
Berdasarkan strukturnya, S dan P dapat dipertukarkan tempatnya, maksudnya S mungkin terletak di muka P, atau sebaliknya P mungkin terletak di muka S (Ramlan, 1987: 92). Dalam kasus P terletak di muka S sering dipakai dalam ungkapan-ungkapan non formal, sehingga dalam ungkapan formal fungsi S berada di depan P (penutur). Unsur O selalu terletak di belakang P yang terdiri dari kata verbal transitif. Karena P itu terdiri dari kata verbal transitif, maka klausa itu dapat diubah menjadi klausa pasif. Apabila dipasifkan kata atau frase yang menduduki fungsi O menduduki fungsi S (Ramlan, 1987: 93).
Unsur Pel  mempunyai persamaan O yaitu selalu terletak di belakang P. Perbedaanya adalah apabila klausa kalimat itu diubah menjadi kalimat pasif, O menduduki fungsi S sedangkan Pel tetap berada di belakang P dan menduduki fungsi Pel (Ramlan, 1987: 95). Unsur klausa yang tidak menduduki fungsi S, P, O, dan Pel dapat diperkirakan menduduki fungsi Ket. Berbeda dengan O dan Pel yang selalu terletak di belakang P, dalam suatu klausa Ket pada umumnya mempunyai letak yang bebas, artinya dapat terletak di depan SP, dapat terletak di antara S dan P, dan dapat juga terletak di belakang sekali. Hanya sudah tentu tidak mungkin terletak di antara P dan O dan di antara P dan Pel .(Ramlan, 1987: 97).
Contoh ungkapan formal:
Bahasa Indonesia
Suntono          mengajar            murid kelas XII            matematika              Senin kemarin.
S                     P                             O                             Pel                              Ket


Bahasa Jawa Modern
Suntono           ngajar              matematika           murid kelas XII           Senin wingi.
S                      P                        Pel                           O                         Ket
Analisis contoh klausa yang berbahasa Jawa :
Kata Suntono dalam contoh klausa kedua di atas adalah menempati fungsi S. Secara teori yang telah dijelaskan di atas, S dalam ungkapan formal bahasa Indonesia terletak sebelum P. Dalam klausa bahasa Jawa Modern pun S terletak sama persis di depan P. Maka dengan demikian fungsi S dalam bahasa Jawa Modern sama dengan bahasa Indonesia. Kata ngajar dalam klausa di atas menempati fungsi P. Pada kalimat di atas, P terletak di belakang fungsi S. Jadi fungsi P pada bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa Modern memiliki kesamaan.
Kata matematika dalam contoh di atas menempati fungsi Pel. Sebagaimana teori yang telah dijelaskan di atas bahwa Pel mempunyai persamaan O yaitu selalu terletak di belakang P. Namun Pel jika dipasifkan tidak bisa menempati fungsi S, dan hanya tetap berada di belakang P. Dari contoh klausa bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Modern memiliki sedikit perbedaan yaitu pada penempatan posisi fungsi O dan Pel. Hal ini dipengaruhi oleh penutur masing-masing bahasa dan tidak merubah arti keduanya. Kata murid kelas XII menempati fungsi O karena berada di belakang P dan akan menempati fungsi S apabila dipasifkan, hal ini sesuai dengan teori di atas.
Kata Senin wingi dalam klausa di atas menempati fungsi keterangan. Sebagaimana teori yang telah dijelaskan di atas bahwa selain menempati fungsi S, P, O, dan Pel maka menempati fungsi Ket. Hal ini juga didukung dengan kedudukan kata senin ingi bisa berada di depan, tengah, belakang, kecuali di antara P dan O, atau P dan Pel. Dengan analisis demikian dalam struktur formal bahasa Jawa Modern memiliki fungsi yang sama sebagaimana dalam bahasa Indonesia, yaitu S, P, O, Pel, dan Ket. Namun demikian dalam penempatan O dan Pel terdapat perbedaan. Bahasa Indonesia O terletak di depan Pel (klausa aktif) dan bahasa Jawa Modern Pel terletak di depan O (klausa aktif).
Dalam M. Ramlan (1987), Fungsi S dapat diduduki oleh nomina (N), dan kata lain yang dinominalkan. Untuk mengetahui apa saja batasan nomina telah dibahas dalam bab morfologi bahasa Jawa Modern. Fungsi P dapat diduduki beberpa kategori kata yaitu nomina (N), verba (V), kata bilangan (Bil), frase depan (FD), dan mungkin juga terdiri dari keterangan (Ket). Sama halnya dengan S, fungsi O terdiri dari kata atau frase yang termasuk golongan nomina (N). Fungsi Pel bisa terdiri dari kata atau frase yang termasuk kategori nomina (N), verba (V), dan mungkin juga bilangan (Bil). Fungsi Ket terdiri dari kata atau frase yang termasuk kategori Ket, frase depan (FD),  nomina (N), dan mungkin pula terdiri dari kata atau frase golongan verba (V).
Contoh :

Suntono
ngajar
matematika 
murid kelas XII
Senin wingi
Fungsi
S
P
Pel
O
Ket
Kategori
N
V
N
Frase N
Ket

Contoh :

Suntono
Anake pak Tomo
Fungsi
S
P
Kategori
N
Frase N




Contoh :

Mobil bapak
tiga
Fungsi
S
P
Kategori
Frase N
Bil

Dari banyak contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam ungkapan formal bahasa Jawa Modern fungsi S dalam klausa dapat diisi dengan kategori kata benda (N) dan kata lain yang dibendakan. Fungsi P dapat diisi dengan kategori kata atau frase kata kerja (V), kata atau frase kata sifat (adjektiva), kata atau frase kata bilangan (Bil), kata keterangan (Ket), dan frase depan (FD). Fungsi O dapat diisi dengan kata atau frase benda (N). Fungsi Pel dapat diisi dengan kategori kata atau frase benda (N), kata atau frase kata kerja (V), dan kata atau frase kata bilangan (Bil). Fungsi Ket dapat diisi dengan kategori kata keterangan (Ket), kata atau frase kata benda (N), kata kerja (V), dan frase depan (FD). Kesimpulan ini sedikit mempunyai perbedaan dengan buku acuan Ilmu bahasa Indonesia M. Ramlan, 1987 yaitu pada kata sifat yang tidak tercantum dalam buku tersebut.
Makna Pengisi Fungsi Unsur Klausa
Predikat
Subyek
Objek
Pelengkap
Keterangan
Perbuatan
Keadaan
Keberadaan
Pengenal
Jumlah
pemerolehan
Pelaku
Alat
Sebab
Penderita
Hasil
Tempat
Penerima
Pengalam
Dikena
Jumlah
Penderita
Penerima
Tempat
Alat
Hasil
Penderita
Alat
Tempat
Waktu
Cara
Penerima
Peserta
Alat
Sebab
Pelaku
Keseringan
Perbandingan
Perkecualian

2.2.4. Morfologi
Salah satu ciri bahasa tipe aglutinasi adalah pembentukan kata lebih banyak melalui proses afiksasi. Imbuhan (afiks) dapat melekat pada awal bentuk dasar (prefikasi), di tengah bentuk dasar (infiksasi), di akhir bentuk dasar (sufiksasi), atau prefiks dan sufiks melekat secara serempak pada bentuk dasar (konfiksasi). Pembentukan kata melalui proses afiksasi juga terdapat dalam bahasa Jawa untuk membentuk kata baru di samping proses reduplikasi dan pemajemukan. Fenomena afiksasi dalam bahasa Jawa dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini.

1.
Kraton
Medang
Kamulan
 n-duwe-ni
raja


 
keraton 
Medang  
Kamulan
PREF-punya-SUF
raja


‘keraton Medang Kamulan mempunyai raja

2. saben
Dina
n-jaluk
Jatah
manungsa


Setiap
Hari
PREF-minta
Jatah
Manusia

















’Setiap hari meminta jatah manusia’
3
wong
tuwa
kang
lagi
ng-ungsi
ing
dusun
orang

‘orang
tua

tua yang
yang

sedang
sedang

mengungsi
PREF-ungsi

di desa’
di

desa

Afiksasi yang tercermin pada beberapa contoh di atas memperlihatkan fenomena yang berbeda-beda sebagai berikut:
(1)      bentuk nduweni ‘mempunyai’ terjadi melalui proses afiksasi n-/-ni dan bentuk dasar duwe ‘punya’,
(2)      bentuk njaluk ‘minta’ terjadi melalui proses prefiksasi n- dan bentuk dasar jaluk,
(3)      bentuk ngungsi ‘mengungsi’ terjadi melalui proses prefiksasi ng- dan bentuk dasar ungsi ‘ungsi’,
(4)      bentuk ngadep ‘menghadap’ terjadi melalui proses prefiksasi ng- dan bentuk dasar adep ‘hadap’,
(5)      bentuk ngaturake ‘menyampaikan’ terjadi melalui proses afiksasi ng-/-ake dari bentuk dasar atur ‘sampai’,
(6)      bentuk ngukur ‘mengukur’ terjadi melalui proses prefiksasi ng- dan bentuk dasar ukur ‘ukur’,
(7)      bentuk tumindhak bertindak’ terjadi melalui proses infiksasi t-um- dan bentuk dasar tindhak ‘tindak’.
Berdasarkan contoh kalimat di atas, bahasa Jawa juga mengalami afiksasi. Kaidah pembentukan kata (KPK) mengatur perpaduan antar morfem untuk membentuk kata secara aktual maupun potensial. Dalam hal ini, tentu penutur asli bahasa Jawa memiliki intuisi kebahasaan apakah pembentukan kata secara semantis berterima atau tidak dan secara morfologis merupakan kata-kata potensial.
Asumsi dasar Halle (1973) adalah bahwa secara normal penutur bahasa di samping memiliki pengetahuan tentang kata juga paham tentang komposisi dan struktur kata tersebut. Dengan kata lain penutur asli dari suatu bahasa mempunyai kemampuan untuk mengenal kata-kata dalam bahasanya, bagaimana kata itu terbentuk dan sekaligus bisa membedakan bahwa suatu kata tidak ada dalam bahasanya.



BAB III
KESIMPULAN

Ilmu linguistik tidak hanya menyelidiki salah satu bahasa saja tetapi juga menyangkut bahasa pada umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa ilmu linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage, yaitu bahasa pada umumnya. Sedangkan linguistik teoretis memuat teori linguistik, yang mencakup sejumlah subbidang, seperti ilmu tentang struktur bahasa (grammar atau tata bahasa) dan makna (semantik). Ilmu tentang tata bahasa meliputi morfologi (pembentukan dan perubahan kata) dan sintaksis (aturan2 yang menentukan bagaimana kata-kata digabungkan ke dalam frasa atau kalimat). Selain itu dalam bagian ini juga ada fonologi atau ilmu tentang sistem bunyi dan satuan bunyi yang abstrak, dan fonetik, yang berhubungan dengan properti aktual seperti bunyi bahasa atau speech sound (phone) dan bunyi non-speech sound, dan bagaimana bunyi-bunyi tersebut dapat dihasilkan dan didengar.
Dalam bahasa Jawa misalnya, jelas ada perbedaan antara bahasa Jawa yang diucapkan oleh orang di satu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan-perbedaan bahasa khusus seperti itu oleh para ahli bahasa disebut perbedaan logat atau dialek (dialect). Perbedaan bahasa Jawa juga mencolok sekali. Bahasa Jawa yang dipakai oleh orang di desa atau yang dipakai dalam lapisan pegawai (priyayi), atau di dalam istana (keraton), para kepala swapradja di Jawa Tengah, jelas berbeda. Perbedaan bahasa menurut lapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan disebut tingkat sosial bahasa (social levels of speech).



DAFTAR PUSTAKA

Kurnia. 2013. Fonologi. Palembang.

M. moeliono,anton. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta : Djambatan.

Chaer,abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Kushartanti, dkk. 2007. Pesona Bahasa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum.

Kurnia. 2013. Linguistik Umum. Palembang.

Marsono.2013. Fonetik. Yogyakarta :Gajah Mada University Press.

Departement Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Perum Balai Pustaka.

Hastuti P.H, sri. 1983. Permasalahan dalam Bahasa Indonesia.  Yogyakarta : PT. Intan.

Chaer, Abdul.2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.

Muslich, Drs. Masnur. 2010. Garis-Garis Besar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Bandung : Refika Aditama.



http://www.bahasajawa.asia/kamus-bahasa-jawa-halus

http://linguistikumum-morfologi14.blogspot.co.id/2014/10/morfologi.html





Tidak ada komentar:

Posting Komentar