ANALISIS TATARAN LINGUISTIK BAHASA JAWA DARI BENTUK
BAHASA TERTUA (PROTO)
ABSTRAK
Bahasa
dapat dikatakan sebuah sistem simbol. Ia merupakan perwujudan budaya yang
digunakan untuk saling bertukar informasi. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa
bahasa merupakan subordinat dari kebudayaan, dimana ia masuk sebagai salah satu
unsur kebudayaan. Bahasa memiliki banyak ragam. Kemudian, ketika teknologi
mulai membaur dengan bahasa maka varietasnya pun terpengaruh. Faktor historis
memperlihatkan hubungan antara bahasa dan kurun waktu kapan bahasa tersebut
dipakai orang. Corak atau ragam perbedaan bahasa semacam ini disebut dialek
temporal atau dialek historis. Dapat diambil contoh dari bahasa Jawa yang
dibedakan menjadi bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan Jawa Modern.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak
dapat terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam berkomunikasi manusia
memerlukan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan, isi pikiran, maksud,
realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling utama dan vital adalah untuk
memenuhi kebutuhan tersebut adalah bahasa. Dengan demikian fungsi bahasa yang
paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Setiap anggota masyarakat dan
konunitas selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai
komunikator (pembicara atau penulis) maupun sebagai komunikan (mitra bicara,
penyimak, pendengar, atau pembaca) (Sumarlam, 2005:1). Bahasa Jawa merupakan
bagian dari bahasa nusantara dan termasuk rumpun bahasa austronesia yang ada di
dunia ini. Secara linier bahasa Jawa memiliki sejarah yang panjang, area
pemakaian yang amat luas dan jumlah penutur yang banyak, sebanyak orang Jawa
yang ada (Wakit Abdullah dan Sri Lestari Handayani, 2007:11). Bahasa Jawa
digunakan di beberapa wilayah di Indonesia, yang terutama di Jawa Tengah, Jawa
Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sebagian daerah di Jawa Barat, maupun di
luar negri.
Di dalam
kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara tradisional dapat dikatakan
sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat untuk
berkomunikasi. Akan tetapi, fungsi bahasa tidak hanya semata-mata sebagai alat
komunikasi. Bagi sosiolinguistik konsep bahasa adalah alat yang fungsinya
menyampaikan pikiran saja dianggap terlalu sempit (Abdul Chaer, 2004:15).
Jika dalam suatu kelompok masyarakat
terdiri dari berbagai daerah-daerah dan penguasaan bahasa yang perbeda-beda
akan menimbulkan bahasa yang unik, apalagi jika suatu kelompok masyarakat
tersebut merupakan penguna lebih dari satu bahasa (multi lingual) akan
timbul pencampuran bahasa atau sering disebut campur kode dan alih
kode.Penelitian yang terdahulu tentang tingkat tutur bahasa Jawa, alih kode,
campur kode antara lain penelitian yang di lakukan oleh : (1) Mulyani, (2) Siti
Zuhriyah, (3) Arisanti Suwarso.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk bersuku bangsa Jawa
di Jawa Tengah, Yogyakarta,
dan Jawa Timur.
Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal di beberapa
daerah lain seperti Banten
(terutama Serang,
Cilegon,
dan Tangerang)
serta Jawa Barat (terutama kawasan pantai utara yang
meliputi Karawang,
Subang,
Indramayu,
dan Cirebon).
Bahasa Jawa Kuno ialah bahasa Jawa
fasa tertua yang dituturkan di kawasan yang kini dikenali sebagai Jawa Tengah
dan seluruh Jawa Timur. Ia merupakan salah satu bahasa
Polinesia-Melayu Barat dan justera, adalah agak serupa
dengan bahasa Melayu Lama.
Bahasa Jawa Lama tidaklah statik, dengan penggunaanya merangkumi zaman sekitar
500 tahun, iaitu sejak prasasti Sukabumi
(kk. 804 Masihi)
sehingga pengasasan empayar Majapahit
pada 1292.
Bahasa Jawa
yang dituturkan dan ditulis pada zaman Majapahit adalah lebih rapat dengan
bahasa Jawa Moden kerana telah menjalani sesetengah perubahan.
Variasi Bahasa
disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat
atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang
tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi
itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan
keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat
dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Namun Halliday
membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakai (dialek) dan pemakaian
(register).Chaer (2004:62) mengatakan bahwa variasi bahasa itu pertama-tama
kita bedakan berdasarkan penutur dan penggunanya.
1.2.
Identifikasi Masalah
1.
Mendeskripsikan apa yang dimaksud fonologi, semantik,
sintaksis, dan morfologi dalam bahasa Jawa.
2.
Menganalisa
tataran linguistik bahasa Jawa serta penggunaannya dengan tepat
1.3. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah kesalahan berbahasa Jawa yang dijumpai dari segi fonologi,
semantik, sintaksis, dan morfologi?
2. Bagaimana tataran linguistik yang
benar dalam bahasa Jawa ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Linguistik
Secara umum linguistik
adalah ilmu tantang bahasa atau ilmu yang mejadikan bahasa sebagai objek kajiannya.
Telaah ilmiah mengenai bahasa (Martinet /1987:19). l-Khuli mendefinisikan
Linguistik sebagai ilmu yang menyelidiki bahasa (‘ilmun yabhatsu fi
al-lughah).[1] Jurji Zaidan, mendefinisikan Linguistik sebagai ilmu
yang menyelidiki bahasa dari sisi tertulis maupun non
tertulis.[2] Sementara Iman Saiful Mu’minin mendefinisikan Linguistik
sebagai ilmu yang membahas tentang bahasa dari berbagai
sisi.[3] Dalam The New Oxford Dictionary of English (2003),
linguistik didefinisikan sebagai berikut: “The scientific study of language
and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics.
Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology,
psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and
structural linguistics.”
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk bersuku bangsa Jawa
di Jawa Tengah, Yogyakarta,
dan Jawa Timur.
Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal di beberapa
daerah lain seperti Banten
(terutama Serang,
Cilegon,
dan Tangerang)
serta Jawa Barat (terutama kawasan pantai utara yang
meliputi Karawang,
Subang,
Indramayu,
dan Cirebon).
Pada
dasarnya penggunaan Bahasa Jawa dibagi menjadi 3 Bahasa, yaitu:
1. Bahasa Jawa ngoko
(kasar) dipergunaan oleh :
·
Anak-anak dengan anak-anak
·
Orang yang sudah dekat ( teman dekat )
·
Orang yang lebih tua dari lawan bicara
2. Bahasa Jawa
Krama madya (halus) dipergunakan oleh :
·
Murid pada guru
·
Orang yang lebih muda dengan orang yang
lebih tua
·
Anak pada orang tua
·
Abdi/ pegawai pada majikan/ pimpinannya
3. Bahasa Jawa krama Inggil (sangat halus) dipergunakan
untuk meninggikan derajat lawan bicara dan untuk merendahkan diri sendiri
(mempertebal andhap asor/ rendah hati).
Ketika seseorang berbicaara selain
memperhatikan kaidah-kaidah bahasa, juga harus memperhatikan siapa orang yang
diajak bicara. Berbicara dengan orang tua berbeda dengan berbicara pada anak
atau yang seumur. Tingkat tutur merupakan sisitem ragam bahasa menurut hubungan
antara pembicara, secara kasar dari bentuk ngoko, madya dan krama (Harimurti
Kridalaksana, 1993:223). Sry Satriya Tjatur Sasangka (1997:1) mengunakan
mengunakan istilah unggah-ungguh bahasa untuk menyebut istilah
tingkat tutur bahasa yang di gunakan oleh Harimurti Krida Laksana. Begitu juga
Aryo Bimo Setiyanto (2007:26) menyebut tingkat tutur bahasa Jawa dengan
istilah unggah-ungguhing basa.
Dalam Parama Sastra Bahasa Jawa tingkat
tutur bahasa Jawa pada dasarnya di bagi menjadi tiga, yaitu ngoko,
madya, dan krama. Selain itu orang-orang Istana / Kedhaton mengunakan
bahasa Kedhaton atau sering disebut bahasa bagongan, sehingga
tingkat tutur bahasa Jawa dapat di bagi menjadi empat bagian, yaitu ngoko,
madya, krama, dan kedhaton. Ngoko dibagi menjadi dua, (1) ngoko
lugu, (2) ngoko andhap. Madya dibagi menjadi tiga,
(1) madya ngoko, (2) madya krama, dan (3) madyaantara.
Krama dibagi menjadi lima, yaitu (1) mudha krama,
(2) kramantara, (3) wredha krama, (4) krama
inggil, dan (5) krama desa. Bahasa kedhaton tidak
dibagi tetapi hanya disebut dengan bahasa bagongan (Aryo Bimo
Setiyanto, 2007:26).
2.1.1. Fonologi
Fonologi terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu Fonetik dan
Fonemik. Fonologi berbeda dengan fonetik. Fonetik mempelajari bagaimana bunyi-bunyi
fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari
cara kerja organ tubuh manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan dan
pengucapan bahasa.
Dengan kata lain, fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara
menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh
alat ucap manusia. Sementara itu, Fonemik
adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai
pembeda arti.
Ada 3 (tiga) unsur penting ketika organ ucap manusia
memproduksi bunyi atau fonem, yaitu:
- udara - sebagai penghantar bunyi,
- artikulator - bagian alat ucap yang bergerak, dan
- titik artikulasi (disebut juga artikulator pasif) - bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator.
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi
ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar adalah dua unsur, yaitu segmental dan
suprasegmental, ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi
tersebut.
Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana
melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga
bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan
kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama
orang, lambang-lambang teknis keilmuan dan sebagainya. Perlambangan unsure
suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada,
durasi, jedah dan intonasi. Perlambangan unsure suprasegmental ini dikenal
dengan istilah tanda baca atau pungtuasi.
Tata cara penulisan bunyi ujar ini bias memanfaatkan hasil
kajian fonologi,terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang
bersangkutan. Oleh karena itu, hasil kajian fonemik terhahadap ejaan suatu
bahasa disebut ejaan fonemi.
2.1.2. Semantik
Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna /
arti yang terkandung dalam bahasa, kode, atau jenis lain dari representasi.
Dengan kata lain, semantik adalah studi tentang makna. Semantik biasanya
berhubungan dengan dua aspek lain: sintaks, pembentukan simbol kompleks dari
simbol yang lebih sederhana, dan pragmatis, penggunaan praktis simbol oleh
rakyat dalam konteks tertentu.
Linguistik Semantik adalah studi tentang makna yang digunakan
untuk memahami ekspresi manusia melalui bahasa. Bentuk lain dari semantik
termasuk semantik bahasa pemrograman, logika formal, dan semiotika.
Kata semantik sendiri menunjukkan berbagai ide – yang populer
sangat teknis. Hal ini sering digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk
menunjukkan pemahaman tentang isu-isu yang datang dengan pilihan kata atau
konotasi. Pemahaman tentang masalah telah menjadi subyek dari banyak pertanyaan
formal, dalam jangka panjang, khususnya di bidang semantik formal.
Dalam linguistik, itu adalah studi tentang interpretasi
tanda-tanda atau simbol-simbol yang digunakan dalam lembaga atau masyarakat
dalam keadaan dan konteks tertentu. Dalam pandangan ini, suara, ekspresi wajah,
bahasa tubuh, dan proxemics memiliki semantik konten (makna), dan masing-masing
terdiri dari beberapa cabang studi. Dalam bahasa tertulis, hal-hal seperti
struktur paragraf dan tanda baca menanggung konten semantik, bentuk lain dari
bahasa menanggung konten semantik lainnya.
Studi formal semantik tumpang tindih dengan banyak daerah
lain penyelidikan, termasuk leksikologi, sintaks, pragmatik, etimologi dan
lain-lain, meskipun semantik didefinisikan dengan baik bidang dalam dirinya
sendiri, sering dengan alam sintetis. Dalam filsafat bahasa, semantik dan
referensi yang terkait erat. Bidang terkait termasuk filologi, komunikasi, dan
semiotika. Studi formal semantik karena menjadi kompleks.
Bahasa Jawa juga memiliki ragam fungsiolek. Dilihat dari
ragarn bahasa yang ada, bahasa Jawa mempunyai ragam yang disebut undha usuk.
udha usuk ini dibagi menjadi dua yaitu bahasa ngoko dan krama.
a.
Bahasa Ngoko
Bahasa ngoko
digunakan untuk berbicara dengan orang yang sebaya atau orang yang sudah akrab,
bisa juga digunakan oleh orang yang kedudukannya lebih tinggi untuk berbicara
kepada bawahnnya. Dalam ragam fungsiolek menurut Martin Joos, bahasa ngoko
dapat diterapkan dalam ragam santai dan akrab. Misalnya berbicara dengan teman
sebaya: “Sapa sik jupuk bukuku ning meja kae Bud?”
b.
Bahasa Krama
Bahasa krama
digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua (umur maupun kekerabatan)
dan tinggi kedudukannya, juga ketika berhicara dengan orang yang belum kenal.
Bahasa kromo berfungsi sebagai wujud menghargai dan menghormarti orang yang
diajak berbicara. Bahasa krama dibagi menjadi dua yaitu krama madya dan krama
inggil.
1). Krama madya
Madya artinya
tengah, jadi bahasa ini terletak di tengah-tengah antara bahasa ngoko dan
krama. Penggunaan bahasa ini terbatas untuk berbicara dengan orang tua atau
yang dituakan akan tetapi sifat hubunganya sudah akrab. Dalam kalimat, krama
madya bisanya bercampur dengan ngoko bisa juga dengan krama inggil. Misalnya
adik berbicara dengan kakaknya: “Mas, mbok benjing aku diterke teng pasar
tumbas sepatu”.
Kalimat tersebut
merupakan gabungan dari kama yaitu ‘benjing’; krama madya yaitu ‘tumbas,
‘teng ‘; dan ngoko yaitu ‘aku’, ‘diterke’. Krama madya ini
digunakan juga dalam ragam santai.
2). Krama inggil
Inggil yang berarti
tinggi atau atas, digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tinggi usia
ataupun kedudukannya, ataupun dalam keadaan dan situasi fomral. Jika
dihubungkan dengan ragam bahasa menurut Martin Joos, krama inggil biasa
digunakan dalam ragam beku, resmi, juga ragam usaha. Dalam pidato acara-acara
resmi seperti pernikahan, khitanan, pengajian dll, masyarakat biasanya
menggunakanbahasa krama inggil. Misalnya “lngkang kinurmatan bapak Paijo
sakulawarga ingkang tansah bagyamulya, para pepundhen sesepuh miwah pinisepuh
ingkang satuhu kinabekten, saha para tamu ingknng minulya…”
Selain digunakan
dalam acara-acara resmi, bahasa krama inggil juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Yaitu untuk berbicara dengan orang yang lebih tua tau dituakan dan berkedudukan
tinggi. Misal cucu berbicara dengan neneknya, “Simbah sampun dhahar? “
namun kalimat tersebut tidak boleh digunakan untuk menyebutkan dirinya sendiri “Kula
sampun dhahar,” Kalimat tersebut benar menurut struktur bahasa, namun
secara aturan tidak tepat karena telah mengkramakan dirinya sendiri, dalam
artian telah menghormati dirinya sendiri. Sehingga kalimat yang tepat
seharusnya“kula sampun maem.” Hal tersebut merupakan keunikan bahasa
Jawa yang mempunyai aturan tertentu dalam ujaran sesuai dengan situasi dan
kondisi seseorang saat berbicara atau dikenal dengan istilah “mpan mapan”
bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.
Baca :
Daftar lagu anak yang akan segera punah, jika tidak dilestarikan
Lirik Lagu wajib Nasional yang menggugah perasaan
Serba-Serbi Negara Denmark
Samakah Republik Dominica dan Commonwealth Dominica?
2.1.3. Sintaksis
Kata sintaksis berasal dari kata Yunani (sun = ‘dengan’
+ tattein ‘menempatkan’. Jadi kata sintaksis secara etimologis berarti
menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau
kalimat. Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata
dalam tuturan. Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi menyangkut
struktur gramatikal di dalam kata.Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis
adalah frase, kalusa,dan kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang
dituturkan orang dalam bentuk kalimat.
Ramlan (1981:1) mengatakan: “Sintaksis ialah bagian atau
cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa,
dan frase .”.
Fungsi sintaksis
adalah hubungan antara unsur-unsur bahasa dilihat dari sudut pandang
penyajiannya dalam ujaran
atau klausa.
Jenis fungsi sintaksis yang umum diakui adalah subjek,
predikat,
objek,
pelengkap,
dan keterangan.
Fungsi sintaksis memegang peran paling dominan dalam teori tata bahasa dependensi
yang menguraikan setiap unsur kalimat menjadi fungsi sintaksis spesifik.
Dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang
secara hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar
yaitu frase. Maka di sini, kata, hanya dibicarakan sebgai satuan terkecil dalam
sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan yang
lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat Dalam pembicaraan kata
sebagai pengisi satuan sintaksis, pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya
dua macam kata, yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (funcionword).
Yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina,
ajektifa, adverbia, dan numeralia. Sedangkan yang termasuk kata tugas adalah
kata-kata yang yang berkategori preposisi dan konjungsi.
2.1.4. Morfologi
Morfologi
adalah cabang linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta
pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Atau
dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk
kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik
maupun fungsi semantik.
Dalam kaitannya dengan kebahasaan,
yang dipelajari dalam morfologi ialah bentuk kata. Selain itu, perubahan bentuk
kata dan makna (arti) yang muncul serta perubahan kelas kata yang disebabkan
perubahan bentuk kata itu, juga menjadi objek pembicaraan dalam morfologi.
Dengan kata lain, secara struktural objek pembicaraan dalam morfologi adalah
morfem pada tingkat terendah dan kata pada tingkat tertinggi.Itulah sebabnya,
dikatakan bahwa morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk kata
(struktur kata) serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap makna
(arti) dan kelas kata.
Dalam
ilmu morfologi, terdapat morfem yaitu bagian terkecil dari sebuah kata.
Pembagiannya
seperti ini :
1. Sebuah wacana
dapat dipecah menjadi kalimat
2. Kalimat dapat
dipecah menjadi bagian makna terkecil, yaitu kata
3. Kata dapat
terdiri atas beberapa morfem, contohnya menanamkan = me-tanam-kan, bisa juga
hanya terdiri atas satu morfem, misalnya rumah, kursi, selamat, eksekusi.
Proses morfologis termasuk dalam
bidang analisis linguistik. Pada awalnya analisis linguistik ini didasarkan
pada pemisahan tataran dan diidealkan sebagai suatu studi yang mengacu pada
seleksi suatu dimensi struktur bahasa yang secara formal berhubungan dengan
tingkatan linguistik mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.
Dalam
tataran ini morfologi merupakan ilmu yang mempelajari struktur kata. Dengan
berkembangnya aliran strukturalis dan generatif pemisahan tataran dalam
analisis memudar dan selanjutnya berkembang ke arah doktrin keterkaitan tataran
pada suatu fokus analisis (Katamba, 1993: 3-16). Oleh karena itu analisis
morfologis yang berhubungan dengan tataran lain seperti fonologi, sintaksis dan
semantik memungkinkan adanya kajian proses morfologis yang lebih komprehensif.
2.2.
Hasil
2.2.1.
Fonologi
1.
Vokal “a”, mempunyai dua alofon:
a. Vokal “a” jejeg (tegak)
Dalam vokal “a” jejeg, keadaan kata yang diucapkan seperti aksara jawa saat nglegena atau tanpa sandhangan. Lambang ejaan “a” jejeg kali ini kita akan memakai
simbol [a].
Contoh
ucapan dalam bahasa Jawa : lima, sanga, apa, lara, utawa, dst
b. Vokal “a” miring
Sedangkan dalam vokal “a” miring, diucapkan seperti vokal
“a” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang ejaan “a” miring bisa menggunakan
[A].
Contoh
ucapan dalam bahasa Jawa : aku, ora, tau, mangan, prawan, dst.
Namun untuk suara “a” jejeg akan
menjadi suara “a” miring jika mendapat imbuhan atau panambang: -ne, -ku, -mu.
Contoh
: kanca + ne → kancane [kanca]
+ [ne] → [kAncAne]
2.
Vokal “i” memiliki dua alofon:
a. Vokal “i”
jejeg
Diucapkan seperti vokal “i” yang ada pada bahasa Indonesia.
Lambang ejaan untuk vokal “i” jejeg yang kita pakai adalah [ i ].
Contoh
ucapan dalam bahasa Jawa : iki, siji, pari, aji, kali, dst.
b.
Vokal “i” miring
Untuk vokal ini, ucapan “i” menyerupai vokal “e” dan
biasannya yang dibaca miring bagian vokal yang akhir. Lambang ejaan untuk vokal
“i” miring yang kita pakai adalah [ I ].
Contoh
dalam bahasa Jawa : Sisir, pasir, kalih, taling, miring, dst.
Ada
pengecualian untuk vokal “i” miring, vokal “i” miring akan berubah menjadi
vokal “i” jejeg apabila mendapat imbuhan atau panambang: -an atau –e.
Contoh:
sisir + an → sisiran [sisIr] + [An] → [sisirAn]
3. Vokal “u” mempunyai
dua alofon:
a.
Vokal “u” jejeg
Vokal “u” jejeg diucapkan seperti vokal “u” yang ada pada
bahasa Indonesia. Lambang ejaan untuk vokal “u” jejeg yang kita pakai adalah
[u].
Contoh : Guru, turu, susu, kuku, dst.
b.
Vokal “u” miring
Untuk vokal ini, ucapan “u” menyerupai vokal “o” dan
biasannya yang dibaca miring bagian vokal yang akhir. Lambang ejaan untuk vokal
“u” miring yang kita pakai adalah [U]
Contoh:
·
susuh
→ [susUh]
·
kukur
→ [kukUr]
Untuk
vokal “u” miring terjadi adanya perubahan, vokal “u” miring akan berubah
menjadi vokal “u” jejeg apabila mendapat imbuhan atau panambang: -an atau –e.
Contoh:
·pupur + an → pupuran [pupUr] + [An] → [pupurAn]
·susuh + e → susuhe [susUh] + [e] → [susuhe]
4. Vokal “o” mempunyai
dua alofon:
a. Vokal “o” jejeg
Vokal “o” jejeg diucapkan seperti vokal “o” yang ada pada
bahasa Indonesia. Lambang ejaan untuk vokal “o” jejeg yang kita pakai adalah
[o].
Contoh:
·toko, soto, loro, dst.
b. Vokal “o”
miring
Untuk vokal ini, ucapan “o” menyerupai vokal “a”. Lambang
ejaan untuk vokal “o” miring yang kita pakai adalah [O]
Contoh:
·
bolong
·
kanthong
5.
Vokal “e” mempunyai dua alofon:
a. Vokal “e” jejeg
Vokal
“e” jejeg diucapkan seperti vokal “e” yang ada pada bahasa Indonesia. Lambang
ejaan untuk vokal “e” jejeg yang kita pakai adalah [e].
Contoh : tempe, sare, sate dst.
b. Vokal “e” miring
Lambang
ejaan untuk vokal “e” miring yang kita pakai adalah [E]
Contoh:
·
gepeng,
kaleng, goreng, dst.
6.
Vokal “ê”
Khusus vokal “ê” tidak mempunyai alofon. Dalam aksara Jawa
vokal ini dituliskan dengan sandhangan
pepet.
Contoh:
têgêl,
lémpér, marmér, dst.
2.2.2.
Semantik
Dalam setiap
bahasa, termasuk bahasa Jawa, verba dibagi
menjadi tiga tipe, yaitu (a) verba Keadaan; (b) verba Proses dan (c) verba
Tindakan. Fokus kajian berikut mengacu pada salah satu tipe verba Tindakan,
yaitu melakukan, dengan Polisemi: melakukan dan terjadi.
Kombinasi melakukan dan terjadi mengungkapkan suatu
keterpengaruhan Undergoer yang relatif tinggi karena kelas verba termasuk verba
transitif prototipe. Verba transitif prototipe memiliki Subjek sebagai agen dan
Objek langsung sebagai pasien (Wierzbicka, 1996: 421).
Dalam bahasa Jawa, sebagai
contoh verba ngethok ‘memotong’ mewakili korpus verba
transitif prototipe dalam kajian ini. Pemilihan ini dimaksudkan untuk memberi
gambaran struktur semantik secara ringkas dan tidak berputar-putar. Leksikon ngethok ‘memotong’
menggambarkan struktur semantik dengan sub-komponen “X melakukan sesuatu”, “sesuatu yang buruk terjadi” dan “X melakukan
sesuatu”, “sesuatu yang baik terjadi”. Leksikon
tersebut dengan variasi masing-masing sebagai representasi konsep melakukan dan terjadi. Jika orang ngethok ‘memotong’ maka pemetaan komponen “X melakukan sesuatu pada Y” dan karena
“sesuatu terjadi pada Y”. Leksikon ngethok didasarkan atas alat, model gerakan,
bagian entitas yang dikenai perlakuan dan hasil akhir yang ingin dicapai atau
diharapkan agen.
Contoh lain;
(a) ngiris,
mapras, ngarit, nyigar, menggal, nugel, ngrajang, nyacah = memotong
ngiris
: memotong tipis-tipis.
mapras:
memotong ujung batang pohon.
ngarit:
memotong rumput untuk makanan
ternak.
nyigar:
memotong bambu atau kayu menjadi dua
bagian.
nugel:
memotong sesuatu menjadi dua bagian.
ngrajang:
memotong kecil-kecil.
nyacah: memotong sesuatu sekecil mungkin.
(b) menggal, mbelih, nyeset: leksikon-leksikon ini memiliki acuan
berupa bagian dari suatu entitas bernyawa.
menggal: memotong kepala hewan atau manusia.
mbelih: memotong
bagian kepala ternak.
nyeset: memotong pada bagian kulit hewan
untuk memisahkan dengan daging.
Berikut
ini contoh kata-kata Bahasa Jawa Halus di mulai dari
kata “ ngoko- krama madya- krama inggil- terjemahan bahasa Indonesia”
Ngoko
|
Krama Madya
|
Krama Inggil
|
Bahasa
Indonesia
|
abang
abot
adang
adhem
adhi
adeg
adoh
adol
adu
adus
agama
age-age
aja
ajang
aji
aksama
aku
ala
|
abrit
awrat
bethak
asrep
adhi
ngadeg
tebih
sade
aben
adus
agami
enggal-enggal
ampun
ajang
aos
aksami
kula
awon
|
abrit
awrat
bethak
asrep
rayi
jumeneng
tebih
sade
aben
siram
agami
enggal-enggal
ampun
ambeng
aos
aksami
kawula, dalem
awon
|
merah
berat
menanak nasi
dingin
adik
berdiri
jauh
jual
mengadu
mandi
agama
lekas
jangan
tempat, piring
nilai, harga
ampun, maaf
saya
buruk
|
2.2.3.
Sintaksis
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Ilmu Bahasa Indonesia,
Sintaksis oleh Prof. Drs. M. Ramlan, dalam struktur bahasa Indonesia
secara umum memiliki lima fungsi, yang diantaranya adalah subjek (S), predikat
(P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket) yang tersusun dalam
tataran klausa. Klausa di sini dijelaskan sebagai satuan gramatik yang terdiri
dari S P baik disertai O, Pel, dan Ket ataupun tidak.
Bahasa Jawa Modern merupakan salah satu bahasa Austronesia
yang secara struktur dan morflogi mempunyai banyak kesamaan dengan bahasa
Indonesia. Dengan demikian bahasa Jawa Modern dapat dianalisis dengan
menggunakan teori linguistik bahasa Indonesia. Kemudian untuk mengetahui fungsi
apa saja yang dapat mengisi struktur bahasa Jawa Modern dapat digunakan buku Ilmu
Bahasa Indonesia, Sintaksis M. Ramlan sebagai landasan teori.
Berdasarkan strukturnya, S dan P dapat dipertukarkan
tempatnya, maksudnya S mungkin terletak di muka P, atau sebaliknya P mungkin
terletak di muka S (Ramlan, 1987: 92). Dalam kasus P terletak di muka S sering
dipakai dalam ungkapan-ungkapan non formal, sehingga dalam ungkapan formal
fungsi S berada di depan P (penutur). Unsur O selalu terletak di belakang P
yang terdiri dari kata verbal transitif. Karena P itu terdiri dari kata verbal
transitif, maka klausa itu dapat diubah menjadi klausa pasif. Apabila
dipasifkan kata atau frase yang menduduki fungsi O menduduki fungsi S (Ramlan,
1987: 93).
Unsur Pel mempunyai persamaan O yaitu selalu terletak
di belakang P. Perbedaanya adalah apabila klausa kalimat itu diubah menjadi
kalimat pasif, O menduduki fungsi S sedangkan Pel tetap berada di belakang P
dan menduduki fungsi Pel (Ramlan, 1987: 95). Unsur klausa yang tidak menduduki
fungsi S, P, O, dan Pel dapat diperkirakan menduduki fungsi Ket. Berbeda dengan
O dan Pel yang selalu terletak di belakang P, dalam suatu klausa Ket pada
umumnya mempunyai letak yang bebas, artinya dapat terletak di depan SP, dapat
terletak di antara S dan P, dan dapat juga terletak di belakang sekali. Hanya
sudah tentu tidak mungkin terletak di antara P dan O dan di antara P dan Pel
.(Ramlan, 1987: 97).
Contoh
ungkapan formal:
Bahasa
Indonesia
Suntono
mengajar
murid kelas
XII
matematika
Senin
kemarin.
S
P
O
Pel
Ket
Bahasa Jawa Modern
Suntono ngajar
matematika
murid kelas XII
Senin wingi.
S
P
Pel
O
Ket
Analisis
contoh klausa yang berbahasa Jawa :
Kata
Suntono dalam contoh klausa kedua di atas adalah menempati fungsi S.
Secara teori yang telah dijelaskan di atas, S dalam ungkapan formal bahasa
Indonesia terletak sebelum P. Dalam klausa bahasa Jawa Modern pun S terletak
sama persis di depan P. Maka dengan demikian fungsi S dalam bahasa Jawa Modern
sama dengan bahasa Indonesia. Kata ngajar dalam klausa di atas menempati
fungsi P. Pada kalimat di atas, P terletak di belakang fungsi S. Jadi fungsi P
pada bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa Modern memiliki kesamaan.
Kata
matematika dalam contoh di atas menempati fungsi Pel. Sebagaimana teori
yang telah dijelaskan di atas bahwa Pel mempunyai persamaan O yaitu selalu
terletak di belakang P. Namun Pel jika dipasifkan tidak bisa menempati fungsi
S, dan hanya tetap berada di belakang P. Dari contoh klausa bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa Modern memiliki sedikit perbedaan yaitu pada penempatan posisi
fungsi O dan Pel. Hal ini dipengaruhi oleh penutur masing-masing bahasa dan
tidak merubah arti keduanya. Kata murid kelas XII menempati fungsi O
karena berada di belakang P dan akan menempati fungsi S apabila dipasifkan, hal
ini sesuai dengan teori di atas.
Kata
Senin wingi dalam klausa di atas menempati fungsi keterangan.
Sebagaimana teori yang telah dijelaskan di atas bahwa selain menempati fungsi
S, P, O, dan Pel maka menempati fungsi Ket. Hal ini juga didukung dengan
kedudukan kata senin ingi bisa berada di depan, tengah, belakang,
kecuali di antara P dan O, atau P dan Pel. Dengan analisis demikian dalam
struktur formal bahasa Jawa Modern memiliki fungsi yang sama sebagaimana dalam
bahasa Indonesia, yaitu S, P, O, Pel, dan Ket. Namun demikian dalam penempatan
O dan Pel terdapat perbedaan. Bahasa Indonesia O terletak di depan Pel (klausa
aktif) dan bahasa Jawa Modern Pel terletak di depan O (klausa aktif).
Dalam M. Ramlan (1987), Fungsi S
dapat diduduki oleh nomina (N), dan kata lain yang dinominalkan. Untuk
mengetahui apa saja batasan nomina telah dibahas dalam bab morfologi bahasa
Jawa Modern. Fungsi P dapat diduduki beberpa kategori kata yaitu nomina (N),
verba (V), kata bilangan (Bil), frase depan (FD), dan mungkin juga terdiri dari
keterangan (Ket). Sama halnya dengan S, fungsi O terdiri dari kata atau frase
yang termasuk golongan nomina (N). Fungsi Pel bisa terdiri dari kata atau frase
yang termasuk kategori nomina (N), verba (V), dan mungkin juga bilangan (Bil).
Fungsi Ket terdiri dari kata atau frase yang termasuk kategori Ket, frase depan
(FD), nomina (N), dan mungkin pula terdiri dari kata atau frase golongan
verba (V).
Contoh :
Suntono
|
ngajar
|
matematika
|
murid
kelas XII
|
Senin
wingi
|
|
Fungsi
|
S
|
P
|
Pel
|
O
|
Ket
|
Kategori
|
N
|
V
|
N
|
Frase
N
|
Ket
|
Contoh
:
Suntono
|
Anake pak Tomo
|
|
Fungsi
|
S
|
P
|
Kategori
|
N
|
Frase N
|
Contoh
:
Mobil bapak
|
tiga
|
|
Fungsi
|
S
|
P
|
Kategori
|
Frase N
|
Bil
|
Dari banyak contoh di atas, dapat
disimpulkan bahwa dalam ungkapan formal bahasa Jawa Modern fungsi S dalam
klausa dapat diisi dengan kategori kata benda (N) dan kata lain yang
dibendakan. Fungsi P dapat diisi dengan kategori kata atau frase kata kerja (V),
kata atau frase kata sifat (adjektiva), kata atau frase kata bilangan (Bil),
kata keterangan (Ket), dan frase depan (FD). Fungsi O dapat diisi dengan kata
atau frase benda (N). Fungsi Pel dapat diisi dengan kategori kata atau frase
benda (N), kata atau frase kata kerja (V), dan kata atau frase kata bilangan
(Bil). Fungsi Ket dapat diisi dengan kategori kata keterangan (Ket), kata atau
frase kata benda (N), kata kerja (V), dan frase depan (FD). Kesimpulan ini
sedikit mempunyai perbedaan dengan buku acuan Ilmu bahasa Indonesia M.
Ramlan, 1987 yaitu pada kata sifat yang tidak tercantum dalam buku tersebut.
Makna Pengisi Fungsi Unsur Klausa
Predikat
|
Subyek
|
Objek
|
Pelengkap
|
Keterangan
|
Perbuatan
Keadaan
Keberadaan
Pengenal
Jumlah
pemerolehan
|
Pelaku
Alat
Sebab
Penderita
Hasil
Tempat
Penerima
Pengalam
Dikena
Jumlah
|
Penderita
Penerima
Tempat
Alat
Hasil
|
Penderita
Alat
|
Tempat
Waktu
Cara
Penerima
Peserta
Alat
Sebab
Pelaku
Keseringan
Perbandingan
Perkecualian
|
2.2.4.
Morfologi
Salah satu
ciri bahasa tipe aglutinasi adalah pembentukan kata lebih banyak melalui proses
afiksasi. Imbuhan (afiks) dapat melekat pada awal bentuk dasar (prefikasi), di
tengah bentuk dasar (infiksasi), di akhir bentuk dasar (sufiksasi), atau
prefiks dan sufiks melekat secara serempak pada bentuk dasar (konfiksasi).
Pembentukan kata melalui proses afiksasi juga terdapat dalam bahasa Jawa untuk
membentuk kata baru di samping proses reduplikasi dan pemajemukan. Fenomena
afiksasi dalam bahasa Jawa dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini.
|
Kraton
|
Medang
|
Kamulan
|
n-duwe-ni
|
raja
|
||||||||||
keraton
|
Medang
|
Kamulan
|
PREF-punya-SUF
|
raja
|
|||||||||||
‘keraton Medang Kamulan mempunyai raja
|
|||||||||||||||
|
Dina
|
n-jaluk
|
Jatah
|
manungsa
|
|||||||||||
Setiap
|
Hari
|
PREF-minta
|
Jatah
|
Manusia
|
|||||||||||
’Setiap hari meminta
jatah manusia’
wong
|
tuwa
|
kang
|
lagi
|
ng-ungsi
|
ing
|
dusun
|
|
orang
‘orang
|
tua
tua
yang
|
yang
sedang
|
sedang
mengungsi
|
PREF-ungsi
di
desa’
|
di
|
desa
|
Afiksasi
yang tercermin pada beberapa contoh di atas memperlihatkan fenomena yang
berbeda-beda sebagai berikut:
(1) bentuk
nduweni ‘mempunyai’ terjadi melalui proses afiksasi n-/-ni
dan bentuk dasar duwe ‘punya’,
(2) bentuk
njaluk ‘minta’ terjadi melalui proses
prefiksasi n- dan bentuk dasar jaluk,
(3) bentuk
ngungsi ‘mengungsi’ terjadi melalui
proses prefiksasi ng- dan bentuk
dasar ungsi ‘ungsi’,
(4) bentuk
ngadep ‘menghadap’ terjadi melalui
proses prefiksasi ng- dan bentuk
dasar adep ‘hadap’,
(5) bentuk
ngaturake ‘menyampaikan’ terjadi
melalui proses afiksasi ng-/-ake dari
bentuk dasar atur ‘sampai’,
(6) bentuk
ngukur ‘mengukur’ terjadi melalui
proses prefiksasi ng- dan bentuk
dasar ukur ‘ukur’,
(7) bentuk tumindhak
‘bertindak’ terjadi melalui
proses infiksasi t-um- dan bentuk
dasar tindhak ‘tindak’.
Berdasarkan contoh kalimat di atas, bahasa Jawa juga
mengalami afiksasi. Kaidah pembentukan kata (KPK) mengatur perpaduan antar
morfem untuk membentuk kata secara aktual maupun potensial. Dalam hal ini,
tentu penutur asli bahasa Jawa memiliki intuisi kebahasaan apakah pembentukan
kata secara semantis berterima atau tidak dan secara morfologis merupakan
kata-kata potensial.
Asumsi dasar Halle (1973) adalah bahwa secara normal penutur
bahasa di samping memiliki pengetahuan tentang kata juga paham tentang komposisi
dan struktur kata tersebut. Dengan kata lain penutur asli dari suatu bahasa
mempunyai kemampuan untuk mengenal kata-kata dalam bahasanya, bagaimana kata
itu terbentuk dan sekaligus bisa membedakan bahwa suatu kata tidak ada dalam
bahasanya.
BAB
III
KESIMPULAN
Ilmu linguistik tidak
hanya menyelidiki salah satu bahasa saja tetapi juga menyangkut bahasa pada
umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa ilmu
linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage,
yaitu bahasa pada umumnya. Sedangkan linguistik teoretis memuat teori
linguistik, yang mencakup sejumlah subbidang, seperti ilmu tentang struktur
bahasa (grammar atau tata bahasa) dan makna (semantik). Ilmu tentang tata
bahasa meliputi morfologi (pembentukan dan perubahan kata) dan sintaksis
(aturan2 yang menentukan bagaimana kata-kata digabungkan ke dalam frasa
atau kalimat). Selain itu dalam bagian ini juga ada fonologi atau ilmu tentang
sistem bunyi dan satuan bunyi yang abstrak, dan fonetik, yang berhubungan
dengan properti aktual seperti bunyi bahasa atau speech sound (phone) dan bunyi
non-speech sound, dan bagaimana bunyi-bunyi tersebut dapat dihasilkan dan
didengar.
Dalam bahasa Jawa
misalnya, jelas ada perbedaan antara bahasa Jawa yang diucapkan oleh orang di
satu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan-perbedaan bahasa khusus seperti
itu oleh para ahli bahasa disebut perbedaan logat atau dialek (dialect). Perbedaan
bahasa Jawa juga mencolok sekali. Bahasa Jawa yang dipakai oleh orang di desa
atau yang dipakai dalam lapisan pegawai (priyayi), atau di dalam istana (keraton),
para kepala swapradja di Jawa Tengah, jelas berbeda. Perbedaan bahasa
menurut lapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan disebut tingkat
sosial bahasa (social levels of speech).
DAFTAR
PUSTAKA
Kurnia. 2013. Fonologi.
Palembang.
M. moeliono,anton. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta : Djambatan.
Chaer,abdul. 2009. Fonologi
Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Kushartanti, dkk. 2007. Pesona Bahasa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum.
Kurnia. 2013. Linguistik
Umum. Palembang.
Marsono.2013. Fonetik.
Yogyakarta :Gajah Mada University Press.
Departement Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Perum
Balai Pustaka.
Hastuti P.H, sri. 1983. Permasalahan dalam Bahasa
Indonesia. Yogyakarta : PT.
Intan.
Chaer,
Abdul.2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-Asas
Linguistik Umum. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Muslich, Drs. Masnur. 2010. Garis-Garis Besar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Bandung :
Refika Aditama.
http://www.bahasajawa.asia/kamus-bahasa-jawa-halus
http://linguistikumum-morfologi14.blogspot.co.id/2014/10/morfologi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar